Malu dan tidak sempurna rasanya
menjadi perempuan asal Paninggahan kalau tidak bisa menganyam.
Ditegaskan lagi oleh orang-orang tua terdahulu dengan pernyataan;
‘jangan mengaku orang (perempuan) Paninggahan kalau tidak bisa menganyam’
Menganyam daun pandan menjadi tikar dilakukan hampir setiap rumahtangga di Paninggahan. Tapi itu kondisi dimasa tiga puluhan tahun yang lalu hingga masa sebelumnya.
Asal-usul dan kapan kerajinan anyaman pandan bermula di Paninggahan? pertanyaan yang sulit untuk diterangkan. Sumber tertulis untuk jawaban pertanyaan tidak tersedia. Adapun sejauh usaha penulis hanya dapat diterangkan dari penelusuran melalui jawaban sejarah dari tradisi lisan. Banyak informan memberikan penjelasan seragam dari wawancara yang dilakukan dari beragam tingkatan umur dan jenis kelamin. Informasi seragam itu menuturkan bahwa keterampilan mengolah dan menganyam daun pandan didapat secara turun temurun dari keluarga dan sosialisasi lingkungan.[8] Pekerjaan menganyam pada tahap awal diproduksi berupa tikar atau dalam istilah lokal lapiak juga kampia, sumpik dan sarung bantal.[9] Namun demikian Chistine Dobbin sekilas mengambarkan dalam bukunya ‘Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847’ akan keberadaan pedagang berkeliling yang menjajakan tikar pandan di sekitar Danau Singkarak. Aktivitas berdagang keliling seperti itu di sebut dengan bajojo. Lintasan fakta Dobbin itu setidaknya memberikan pemahaman bahwa kerajinan anyaman Paninggahan telah eksis sejak lama di abad-abad yang lalu. Meskipun Dobbin tidak secara tegas dan rinci menyebut nama daerah Paninggahan. Tapi dapat disimpulkan berdasarkan fakta bahwa daerah sekitar danau Singkarak yang aktif dan membudaya aktivitas menganyamnya adalah Paninggahan.
Pada tahap awal hasil pekerjaan tangan itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dilingkungan rumahtangga dan kerabat. Terbukanya peluang pasar dan berbagai tuntutan ekonomi, kerajinan anyaman pandan Paninggahan kemudian menjadi salah salah satu sumber penghasilan dengan cara memperdagangkannya. Tidak dapat disangkal, menganyam daun pandan menjadi sumber ekonomi tambahan maupun pokok sejalan dengan kegiatan pertanian. Aktivitas menganyam mempertegas bahwa rumahtangga petani tidak bergantung pada usaha tani semata. Mereka juga bekerja diluar kegiatan ekonomi bertani dan beternak sebagai salah salah satu bentuk strategi keberlangsungan ekonomi rumahtangga. Oleh karena itu tumbuhnya sektor industri di pedesaan terutama industri kecil dan rumahtangga sangat penting artinya karena kegiatan tersebut memberikan peluang berusaha, merangsang pertumbuhan ekonomi dan mampu menekan migrasi tenaga kerja keluar pedesaan.[10] .
Pekerjaan menganyam di Paninggahan merupakan dominasi kaum perempuan. Dari banyak tahapan pengolahan bahan mentah hingga masuk pasar nyaris dilakoni utuh oleh kaum hawa di daerah ini. Usaha ini merupakan matapencaharian alternatif, sehingga perekonomian keluarga tidak semata bergantung pada sektor pertanian beternak dan berdagang. Pekerjaan menganyam dilakukan secara sambilan secara rutin untuk mengisi waktu luang setelah pulang membantu kaum laki-laki mengolah lahan pertanian keluarga.[11] Biasanya pekerjaan menganyam dilakukan pada sore hari hingga jelang tidur, bahkan larut malam.[12] Perempuan terlibat secara penuh dalam usaha kerajinan ini. Mulai dari mendapatkan, pengolahan bahan baku pandan, proses pembuatan hingga membawa produk ke pasar untuk dipasarkan. Peran ditingkat pedagang pengepul hingga pedagang pengecer pun masih diambil alih oleh kebanyakan perempuan. Fenomena berdagang keliling atau dalam istilah setempat manggaleh babelok dan bajojo anyaman berupa tikar pandan marak dilakoni perempuan dimasa lalu. Berjualan keliling dengan bajojo menawarkan barang dagangan dari rumah ke rumah di lakukan ke berbagai tempat di Sumatera Barat (Minangkabau) terutama dimasa sulit karena berbagai keterbatasan. Terlebih masa pergolakan kemerdekaan hingga pasca PRRI hingga tahun 1960-an.[13]
Memasuki tahun 1980-an usaha kerajinan anyaman pandan memperlihat gejala melemahnya akan keberlangsungan tradisi di Paninggahan. Banyak faktor penyebab, hal positif yang bermuara baik pun menjadi negatif dampaknya terhadap aktivitas menganyam di Paninggahan. Misalnya saja kondisi pertanian yang semakin membaiknya terutama sawah setelah ditopang irigasi teknis sejak tahun 1982, penggunaan pupuk kimia, pestisida pemberantas hama penyakit tanaman serta bibit unggul. Kegiatan bertanam padi pada masa sebelumnya hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun menjadi lebih intensif. Dengan dukungan berbagai kemajuan teknologi dan pengetahuan bertani, telah menyita banyak waktu dan perhatian masyarakat mengurus lahan pertanian mereka.
Alih fungsi lahan sebagai tempat tumbuh kembang habitat tanaman pandan juga tidak terelakkan. Sebanding dengan angka pertumbuhan penduduk Paninggahan, desakan kebutuhan hunian bagi keluarga yang memerlukan lahan. Tidak jarang lahan yang ditumbuhi tanaman pandan dibabat untuk keperluan pembangunan perumahan. Kondisi seperti itu terus terjadi, apalagi jika budaya menganyam telah terputus dalam sebuah keluarga. Lahan yang dulu ditanami pandan dinggap hanya semak dan perlu dibersihkan atau dialih fungsikan untuk keperluan lain seperti untuk membangun rumah, menanam tanaman yang dianggap lebih produktif dan bernilai lebih.
Faktor yang lebih memprihatinkan adalah dari generasi muda terutama remaja yang enggan untuk mempelajari dan menerima keterampilan menganyam. Padahal menganyam sudah berpuluh tahun berlalu membudaya di Paninggahan. Kondisi itu semakin diperkuat dengan arus modernisasi dan globalisasi yang salah tafsir . menerobos hingga ke pelosok pedesaan melalui berbagai media dan sarana. Modernisasi pendidikan misalnya. Pelajar disibukkan dan daya filterisasi masyarakat yang lemah telah megubah cara pandang. Paradigma yang baru adalah baik dan yang lama dan berbau tradisional adalah kuno dan ketinggalan zaman tercermin disini. Pandangan dimasa yang lalunya ‘malu bila tidak bisa menganyam sekarang menjadi malu dan gengsi kalau melakukan aktivitas menganyam’.
Modernisasi pendidikan sekolah dengan segal beban tugas belajar yang mesti dikerjakan hingga ke rumah sepulang sekolah. Alam kehidupan desa yang banyak keterbatasan juga menuntut setiap individu dalam keluarga mesti bekerjasama, terlibat dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumahtangga dalam upaya memenuhi kebutuhan bersama. Dengan demikian antara bersekolah, tugas sekolah dirumah dan tugas rumah yang senantiasa menunggu. Terlebih bagi keluarga-keluarga dalam kondisi ekonomi lemah dan pas-pasan. Bagaiamana mungkin lagi waktu dan tugas yang demikian tersisa untuk belajar dan mendalami keterampilan menganyam yang sempurna.
Persepsi menganyam sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi, pekerjaan yang cocok dan layak dikerjakan oleh orang-orang tua atau dalih sulit mempelajari keterampilan menganyam menjadi menjalar luas. Bersekolah, jikalau tidak merantau ikut suami atau sanak famili menjadi harapan baru.
Kemajuan teknologi industri yang menciptakan produk massal berupa tikar-tikar plastik dengan aneka desain, warna dan corak motif banyak sedikitnya telah mencuri perhatian dan menggeser selera masyarakat untuk beralih menggunakan produk moderen ini. Produk dari bahan plastik mampu mengggeser eksistensi kerajinan anyaman pandan ditengah masyarakat Paninggahan. Produk sentuhan teknologi canggih itu jelas lebih praktis, murah, warna, model dan bentuknya punya banyak pilihan.[14] Demikian penegasan dari kenyataan yang sedang dihadapi produk anyaman pandan Paninggahan dalam sebuah laporan penelitian Bappeda Sumatera Barat pada tahun 1976. Semakin lengkap tampaknya serangan dan ancaman bagi anyaman pandan produk berbasis tradisi dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar